Oleh: Dinda Sarihati Sutejo
Anggota Manajemen Penulis Indonesia
MENURUT Nahjul Balaghah; surat 31, wasiat Imam Ali kepada Imam Hasan ketika kembali dari Shiffin, “Bila kalian memperhatikan ibarat islami tentang wanita, terdapat ibarat hakiki “almar’atu raihaanatun wa laisat biqahramaanatun…Wanita adalah bunga bukan pelayan.” (syiahindonesia.net) Sangat menarik membaca kutipan yang ada di dalam blog Syiah Indonesia mengenai bagaimana syiah memandang perbedaan wanita dan pria.
Rasanya tidak ada yang salah dalam kutipan di atas. Memang seharusnya wanita diperlakukan seperti itu. Tapi ada satu hal yang mengganjal ketika membaca kutipan tersebut. Apakah syiah benar-benar memandang wanita selayaknya ‘bunga’?
Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja’far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut’ah : “Bukan nikah mut’ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut’ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan,” (Al Furuu’ min Al Kafii, (2/43), dan kitab “ At Tahdziib” (2/188)).
Keterangan di atas tentu menyebabkan kebingungan bagi pembaca karena bertentangan dengan aturan nikah menurut Islam sebagaimana dirisalahkan Rasulullah. Pertama, seorang wanita harus didampingi walinya ketika akad nikah. Kemudian wanita yang dinikahi pun berhak menerima nafkah dari suami, dan jika pernikahan tersebut berakhir maka diucapkannya kata talak. Rasulullah melarang Muslim untuk melakukan nikah mut’ah, begitu pula khalifah Ali bin Abi Thalib. “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah melarang dari nikah mut’ah dan daging keledai kampung (peliharaan) pada Perang Khoibar”. (HR. Al-Bukhari)
Selain bertentangan dengan aturan Islam, nikah mut’ah juga sangat merugikan kaum wanita. Beberapa aturan dari nikah mut’ah adalah adanya masa pernikahan, mahar yang disesuaikan dengan jangka waktu pernikahan, tidak adanya talak, tidak adanya hubungan warisan, dan tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami mut’ahnya.
Dari aturan tersebut tentu pihak wanita tidak diperlakukan layaknya ‘bunga’ sebagaimana apa yang diungkapkan sebelumnya. Bahkan tahun 2013 silam, publik dihebohkan dengan ungkapan pendeta Syiah menyerukan perempuan untuk ‘jihad’ dengan kemaluannya.
Di Irak banyak ditemukan wanita Syiah yang hamil namun tidak mengetahui siapa bapak dari anak yang dikandungnya. Tidak jarang pula kasus anak yang dinikah mut’ah oleh bapak kandungnya atau anak yang menikah mut’ah dengan saudara perempuan dan ibu kandungnya. Wanita yang telah bersuami pun diperbolehkan untuk dinikahi mut’ah oleh lelaki lain. Hal ini tidak sesuai dengan aturan Islam bahkan kodrat manusia itu sendiri.
Harga diri wanita seakan-akan tidak ada artinya. Sebagaimana perintah Vladimir Putin yang menyuruh para penganut Kristen untuk memperbanyak anak agar menandingi jumlah kaum Muslimin dengan cara berzina dengan siapa saja. Para wanita Syiah dipaksa memperbanyak anak melalui kewajiban nikah mut’ah dengan dalih memperbanyak kaum Muslim. Sedangkan di sisi lain, tidak jaminan kelangsungan hidup bagi anak-anak yang dilahirkan karena dalam nikah mut’ah tidak ada hubungan warisan dan nafkah.
Maka, di mana letak perlakuan kaum Syiah terhadap wanita yang katanya harus diperlakukan layaknya bunga bukan pelayan? Jika pernikahan mut’ah dilaksanakan untuk menjaga kesucian wanita dan menjaga diri dari perbuatan zina, mengapa harus ada kesepakatan waktu selayaknya menyewa pekerja prostitusi? Bukankah lebih baik menikahinya sebagaimana yang dirisalahkan oleh Rasulullah? Wanita tentu merasa terhormat apabila diperlakukan dengan lemah lembut sebagaimana Rasulullah memperlakukan istri-istrinya. Wallahua’lam bishawab.
Post A Comment:
0 comments: