SAYA mengenal betul orang-orang berjubah putih, berjenggot, dan rajin bersiwak menjelang kumandang iqamat. Ya, para saudara seiman dari Jamaah Tabligh, dengan kelebihan dan kelemahan, adalah insan yang meniti jalan-Nya. Mereka tidak pernah melakukan tudingan ini dan itu terkait amalan kelompok lain. Justru merekalah yang acap dituding begini dan begitu. Sungguh sebuah ketergesaan manakala para anggota dan dai JT dicap ‘wahabi’ oleh kalangan tertentu hanya karena tampilan luar.
Selain ngawur dan tidak sesuai fakta, sungguh terasa gejolak emosi penuding JT tersebut. Sayangnya, tidak hanya JT yang dikategorikan ‘wahabi’, kelompok ataupun harakah yang tidak ada sangkut-paut dengan Muhammad bin Abdul Wahab pun dianggap serupa. Sebuah laman daring bahkan menyebut nyaris semua ormas keagamaan (Islam) yang muncul setelah Orde Baru sebagai ‘wahabi’. Tidak lupa, Persatuan Islam dan Al-Irsyad dikelompokkan sama. Hanya Muhammadiyah yang, entah malu-malu atau segan, tidak dikategorikan ‘wahabi’ meski jelas-jelas gerakan yang bermula dari Hijaz turut menginspirasi lahirnya organisasi bentukan Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Mengapa bisa logika berpikir sebagian umat sedemikian kritis dan sensitif menyangkut ‘wahabi’? Bahkan, ada yang sampai siaga membuat barisan penghadang semodel detasemen khusus agar para ‘wahabi’ tidak merusak kebangsaan negeri ini?
Isu ‘wahabi’ sebetulnya sudah lama beredar di negeri ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Pergulatan dan perdebatannya menyita banyak pikiran, tenaga, dan kerekatan ukhuwah. Ada yang berujung damai penuh damai untuk saling menenggang perbedaan, tapi tidak jarang yang muncul perpecahan hingga berlapis keturunan. Fatwa sesat-menyesatkan berlaku pada tiap kelompok. Jangan salah, karena masing-masing mendaku pengikut sunnah Nabi Muhammad dan generasi sahabat beliau. Yang terjadi di lapangan: A menuding B, B pun membalas tudingan A.
Karena membuat sibuknya umat untuk saling berfatwa dan mengoreksi kalangan lain inilah, ‘wahabi’ pun dituding sebagai penyebab awal perpecahan. Mufti Johor (Malaysia kini) bahkan pernah ‘menyesatkan’ kaum muda (sebutan lain penyokong dakwah ala ‘wahabi’) Nusantara yang justru suburkan perpecahan tapi abai dengan penetrasi komunis dan misi zending ke tubuh kaum Muslimin. Sebuah tudingan yang sepintas faktual hingga akhirnya tampillah Buya Hamka untuk meluruskan kesilapan berlogika sang mufti tersebut. ‘Wahabi’ di negeri kita, bagi beberapa kalangan di Indonesia, sudah semacam antonim dari ‘ahlus-sunnah’.
Baca
artikel selengkapnya di RITUAL SYIAH
tafhadol
Bila hari ini muncul lagi geliat ‘pemwahabian’, ini sebetulnya pendulum yang bergerak ke belakang sejarah saja. Aktor yang menuding masih dari kalangan sama, hanya kali ini pihak tertuding sudah mengalami ‘diaspora’ dalam beragam bentuk. Maka, terjadilah ketergopohan penyimpulan sehingga memukul rata semua kalangan yang bukan di luar dirinya sebagai ‘aliran’ serupa, yakni ‘pengikut wahabi’. Hizbut-Tahrir yang kritis pada ‘wahabi’ dengan ‘terpaksa’ dikelompokkan sama, walau kedua harakah ini kerap berseberangan. Ikhwanul Muslimin yang tarikat sufi Hasan al-Banna tidak kontras dengan pendakwa di sini, juga diserang ‘wahabi’ gaya baru hanya karena metamorfosisnya di negara kita banyak merujuk karya Muhammad bin Abdul Wahab. Pendakwa lupa, IM dan salah satu tokoh pentingnya Yusuf al-Qaradhawi, sering jadi bulan-bulanan kalangan pendaku pengikut ‘wahabi’ tertentu. Pun setali nasib JT sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.
Serangan Ekstrem
Muasal pembalikan babak sejarah di negara kita sebenarnya lantaran ‘ulah’ bersemangat para dai dan pengikut dari saudara-saudara seiman di salah satu faksi di Salafi—yang kadung dipeyorasikan menjadi ‘wahabi’ di Indonesia. Tradisi dan ritual keagamaan ataupun adat yang berlaku di negeri kita tapi sudah dianggap bagian dari sunnah bukannya tanpa kritikan. Kali ini, hadirnya gelombang baru ‘wahabi’ berjubah ‘Salafi’ membuat situasi runyam dan akhirnya muncul ekstremitas baru. Tudingan keras atas praktik-pratik di negara kita yang diperbuat sebagian (besar) umat Islam, meninggalkan jejak keramahan khas negeri ini. Seolah debu-debu padang pasir yang tidak ada kaitannya dengan uslub dakwah islami pun dilibatkan. Justru ‘kekerasan’ bahasan dan tudingan itulah yang menyakiti marwah dan perasaan pihak yang disasar.
Hadirnya faksi yang lebih ekstrem dengan label ‘salafi jihadis’ menambah persengitan suasana mengingat, saat yang sama, penguasa pun merasa berhak melibatkan diri dengan dalih ancaman keamanan. Jadilah, simbiosis dua pihak dan pihak sebagai musuh bersama mendudukkan Muhammad bin Abdul Wahab sebagai gembong teroris dan predikat-predikat anyar yang terkesan mengada-ada penuh kebaruan. Senasib itu, nama Sayyid Quthb yang sering dirujuk aktivis Ikhwan (dan juga dipakai para salafi jihadis) terbawa-bawa hingga penulis Fi Zilal al-Quran ini pun dimasukkan sebagai ‘penjahat’ tanpa disigi pemikirannya terlebih dahulu dengan adil.
Sudah seperti hukum besi, semakin ditempa keras, makin keras pula pihak yang dituding. Gegara pembidahan dan penyesatan kalangan tertentu dari ‘wahabi’, konsolidasi di kalangan tertuding pun terstruktur, ekstensif, dan masif. Senyampang itu, imajinasi keindonesiaan masuk—atau dimasukkan—para alim di lingkaran penguasa untuk bersama-sama ‘meluruskan kesesatan’ yang terjadi. Alih-alih keramahan air menyiram api, kritik dan cela pada pendukung ‘wahabi’, khususnya kalangan Salafi (jihadis), malah ibarat memberikan kayu kering bertumpuk. Dalam konteks keumatan dan keindonesiaan, serangan balik menyesatkan ‘wahabi’ kadang lahirkan tindakan tidak perlu dan penting. Ekstrem dibalas dengan ekstrem, mungkin seimbang, hanya buat apa? Tidak ada keramahan akhlak yang lebih mumpuni selaksa Imam Syafii ketika dituding sebagai pengikut Syiah. Kaum ‘wahabi’ beringas, dibalas beringas, impas memang. Tapi, adakah karakter lebih sebagai ahlus-sunnah? ‘Qishas’ cacian mungkin saja absah, tapi di mana keluhuran budi ketimuran?
Lawan yang beringas, apalagi menyandang sebutan dai, akan berjarak dengan umat yang butuh siraman rohani. Umat tidak butuh ceramah-ceramah provokatif sejatinya. Menyerang penuh kebencian malah sia-sia, kecuali hanya mengokohkan bagi kalangan sendiri saja. Bertindak tegas dengan menghentikan kiprah di tempatnya berdakwah (misalnya masjid) bagi para ‘wahabi’, tentu berbeda dengan menyerang balik penuh beringas lantas soal pribadi dan keluarganya pun kita nistakan. Pikirannya saja yang kita buang; tapi kehormatan sesama Muslim harus tetap dijaga, apatah lagi sang dai ‘wahabi beringas’ itu punya anak-istri. Kalau yang ‘beringas’ saja tetap perlu dihormati sebagai sesama Muslim, bagaimana dengan ‘wahabi’ yang dalam ceramahnya tidak ada pretensi menyerang ritual kita, tetapi kebetulan posisi pandangan pemikirannya berbeda dengan kita; haruskan kita buang, kucilkan dan distigma ‘wahabi’ sesat?!
Menyerang balik akibat orang lain itu mudah. Yang sukar itu menyeimbangkan takaran ‘qishas’ pembelaan kita. Para ‘wahabi’ sudah akut menyerang, lantas seberapa yakin kita terapkan batasan yang tidak malah melampaui kewajaran? Saya dapati sebuah buku dari alim yang biasanya halus budi dan getol melawan aktivis Islam liberal, dalam menilai ‘wahabi’—untuk segi tertentu—beliau menempatkan mazhab Arab Saudi itu dianggap lebih parah (dan bahaya) ketimbang Syiah!
Sungguh, merawat dan membela kehormatan ulama yang dianggap ‘sesat’ oleh ‘wahabi’ boleh-boleh saja dan ini perlu. Jangan sampai keluhuran budi dan kehati-hatian para ulama dengan serampangan dianggap begini dan begitu yang menyakitkan. Klarifikasi menjadi penting. Saat yang sama, klarifikasi tidak perlu sampai memasuki politisasi dan serangan kesumat. Kalau ‘wahabi’ dianggap sering menyerang, sudah sepantasnya umat yang ingin mencerminkan akhlak seorang ahlus-sunnah berbuat tidak berlebihan. Jangan sampai, tindakan ekstrem pihak lain malah munculkan ekstremitas baru bahkan jauh melampaui batas. Bagaimanapun juga, berhati-hati menilai orang lain sesama Muslim akan lebih baik. Menolehi amal pribadi lantas merujukinya dengan dalil yang diajarkan para ulama, akan lebih bijak ketimbang sibuk menyimak perilaku ‘tetangga’.
Kalaupun ada perbedaan, dialog akan lebih arif diperbuat. Bila ilmu terbatas, jalan bertanya hingga keteduhan di hati atas perbedaan yang ada, bisa menjadi jalan keluar. Memegangi pendapat sekuat-kuatnya itu bagus dan harus manakala dalil yang dipakai sahih dan akurat. Bila ada pendapat lain yang lebih kuat, mari rujuki kebijakan dan keluhuran akhlak para imam mazhab. Adakah Imam Syafii ataupun Imam Ahmad mendorong saling menyesatkan ke sesama Muslim? Pun para alim semisal Hasan al-Banna, atau Muhammad bin Abdul Wahab, apakah membolehkan penistaan ritual secara kasar sebagaimana diperbuat saudara seimannya?
Jangan sampai, kita ribut dengan urusan ‘wahabi’, tapi kita lupa berkonsolidasi. Lupa siapa kawan dan lawan. Ironis tentunya, pada umat lain kita bertenggang rasa dan begitu getol jalinkan toleransi, pada saudara sendiri malah dicaci maki. Pun begitu, kepada yang dianutinya kita tidak kritis, tapi pada produk ijtihad ulama lintas mazhab kita begitu getol mencari lubang. Mari, mari, kita sibuki dengan amal sendiri sembari terus mengkaji pemikiran di jantung gerakan ataupun mazhab yang dianuti, seraya menoleransi saudara seiman yang kita sayangi. []
Post A Comment:
0 comments: