Oleh: Azeza Ibrahim Rizki, Pengamat Komunikasi Budaya
BARU Senin lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengadakan seminar anti terorisme dan ISIS di Indonesia, tindakan-tindakan pemerintah yang nyeleneh sudah mulai tampak.
Baru-baru ini, beberapa media Islam yang kerap menjadi alternatif netizen Indonesia dalam menyuguhkan berita yang berimbang diblokir oleh Kemkominfo atas permintaan BNPT.
“Kemkominfo meminta penyelenggara internet service provider (ISP) untuk memblokir ke-19 situs sesuai yang disampaikan pihak BNPT bahwa situs/website tersebut merupakan situs/website penggerak paham radikalisme dan/atau simpatisan radikalisme,”
Statement diatas adalah statement resmi yang menunjukkan betapa pemerintahan kita tak lagi menerapkan asas musyawarah dan lebih memilih mengambil tindakan represif.
Netizen pun geram, rezim yang saat ini mestinya sibuk melakukan kebijakan-kebijakan pro rakyat yang artinya pro umat Islam sebagai penduduk terbesar di Indonesia, justru tekanan dan pembungkaman yang didapat.
Tagar #KembalikanMediaIslam pun sempat naik menjadi trending topic memanaskan jagat twitter seiring dengan gelombang protes netizen.
Islamophobia di Negara Mayoritas Muslim?
Sepak terjang BNPT dan Densus 88 sebagai turunannya sudah lama menyakiti umat Islam. Selain sudah banyak menimbulkan korban jiwa, ajaran Islam pun terstigmatisasi dan gerak dakwah pun terhalang.
Narasi BNPT lewat berbagai jalur medianya sukses membius masyarakat Indonesia dengan slogan “Islam ekstrim”, dan “Islam Radikal” menjadi kasus yang membumi.
Kerja BNPT dalam membangun stigma ini, berkesinambungan dengan kerja gerakan liberalisme, sekularisme dan pluralisme yang berusaha merusak sendi-sendi utama ajaran Islam.
Jika gerakan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme ini membuat orang malu dengan pemikiran Islami, maka BNPT dengan sintetron terorismenya membuat orang takut menunjukkan keislamannya.
Namun sebaik-baiknya bangkai ditutup, bau busuknya pasti tercium jua. Ketika media mainstream, entah sengaja atau tidak, menutup hidungnya dari kebusukan Densus 88 dan BNPT, media Islam mulai menjalankan tugasnya.
Mulai dari menyuarakan korban penganiayaan Densus 88, mengangkat realitas operasi mereka yang penuh kamuflase, sampai kemudian harus ikut menyandang predikat teroris.
Disini, benturan narasi terjadi, BNPT yang mendapat dukungan Rand Corp Amerika tengah berusaha melemahkan posisi umat Islam, dan media-media Islam berusaha sekuat tenaga mengadvokasi umat akan bahaya narasi BNPT dan rekan.
Baca
artikel selengkapnya di RITUAL SYIAH
tafhadol
Benturan narasi ini mungkin adalah satu dari sekian alasan mengapa BNPT meminjam tangan Kemkominfo untuk menutup akses masyarakat terhadap situs-situs Islam.
Dan cara-cara seperti ini mirip dengan kelakuan Amerika selaku ‘penasehat’ utama BNPT dalam mengurus konflik di timur tengah.
Dan yang perlu kita ingat, walau menempati posisi mayoritas, tidak lantas semangat Islamophobia nihil di Indonesia, gerakan pembenci ini bisa kita rujukkan dengan sikap BNPT bersama antek-anteknya.
Namun, mungkin baik BNPT dan Amerika lupa, bahwa darah pejuang yang diturunkan dari mujahid-mujahid pembela bangsa tidaklah mudah ditipu oleh jargon-jargon kebebasan yang sejatinya justru memperbudak.
Isu Radikalisme sebagai Alat Penjajahan Modern
Pertanyaan paling mendasar dari berkembangnya isu radikalisme, terorisme, dan fanatisme adalah, siapa yang menentukan standarnya?
BNPT tahu betul bahwa mengambil jalan musyawarah bersama dengan ulama-ulama nasional untuk merumuskan standart radikal akan bertentangan dengan titah bos besar, Amerika.
Sebagaimana Amerika yang tidak pernah menjelaskan dengan pasti definisi teror, BNPT pun menggunakan kekuatan opini untuk membentuk standart dalam alam bawah sadar rakyat Indonesia.
Disinilah peran media membangun opini tentang teror, radikal, dan fanatik dicocokkan dengan skenario BNPT yang mendapat mandat tuannya untuk melemahkan islam.
Akhirnya, isu radikalisme menjadi alat penjajahan modern untuk meredam kekuatan Islam.
Lihatlah standart radikal yang digunakan BNPT ini:
1. Ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
2. Takfiri (Mengkafirkan orang lain).
3. Mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS/IS
4. Memaknai jihad secara terbatas.
2. Takfiri (Mengkafirkan orang lain).
3. Mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS/IS
4. Memaknai jihad secara terbatas.
Dengan menggunakan kriteria diatas secara langsung BNPT sudah memastikan bahwa kaum radikal hanya akan datang dari mereka yang memeluk Islam sebagai agamanya.
Maka jangan harap stempel radikal akan diberikan pada PKI, Gerombolan separatis Papua, Jaringan Islam Liberal, dan kelompok Syiah dengan semangat kudeta seperti yang telah mereka contohkan di Yaman.
Kita juga jangan pernah berharap melihat Densus 88 turun memberantas kartel narkoba, imigran bersenjata, dan pemberontak-pemberontak yang tidak beragama Islam.
Rasisme terhadap Islam di negeri yang mayoritas muslim seperti ini harus segera diakhiri, kita tidak ingin ada lagi korban salah tembak dari Densus 88, dan pembreidelan media yang tidak masuk akal.
Post A Comment:
0 comments: